Selasa, 17 Februari 2009

Dimana Allah?

Ketika kita ditanya “ dimana Allah berada?” kita sering menjawab “di atas” bahkan sering kita menyebut “yang di atas” untuk menyebutkan Allah, lalu “di atas “ itu dimana karena kita tau kalau tempat yang kita diami yang disebut dengan planet bumi itu bulat, jadi posisi “atas” tiap tempat di belahan bumi ini berbeda satu sama lain.
Setiap kepercayaan yang ada di dunia ini masing masing memposisikan tuhannya bermacam macam, tetapi kebanyakan di gambarkan berada di langit dengan gambaran tempat yang indah atau berada di surga di atas awan yang melayang.
Lalu menurut Islam.....
Kita mengimani kalau Allah itu bersemayam di atas 'Arsy-Nya sesuai dengan keagungan-Nya.
Apa itu Arsy.....
Data arti yang aku dapat secara harpiah atau bahasa dari internet adalah ini:


Arsy/ ‘Arasy (Bahasa Arab عَرْش) adalah makhluk tertinggi tempat bersemayam Allah, berupa singgasana seperti kubah yang memiliki tiang-tiang yang dipikul oleh para Malaikat. Berdasarkan Al Qur'an:“ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy.(Thaha, 20:5) ”
Pengertian ‘Arsy ini diyakini oleh para manhaj Salaf, berdasarkan Al Qur'an dan hadits Muhammad. Tetapi banyak ulama yang berpendapat beda dalam mengartikan makna dari ‘Arsy ini, apakah ‘Arsy itu berwujud fisik ato nonfisik.

Etimologi

‘Arsy adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘arasya – ya‘risyu – ‘arsyan (عَرَشَ يَعْرِشُ عَرْشًا) yang berarti bangunan, singgasana, istana atau tahta. Di dalam Al-Quran, kata ‘Arsy itu disebut sebanyak 33 kali. Kata ‘Arsy mempunyai banyak makna, tetapi pada umumnya yang dimaksudkan adalah singgasana atau tahta Tuhan. Kemudian arti dari kata tersebut dipakai oleh bangsa Arab untuk menunjukkan beberapa makna, yaitu:
Singgahsana raja, tercantum dalam Surah An-Naml, 23.
Atap rumah, tercantum dalam hadits
Tiang dari sesuatu Kerajaan
Bagian dari punggung kaki

Inilah sebagian dari arti ‘Arsy dalam bahasa Arab, akan tetapi arti tersebut berubah-ubah sesuai dengan kalimat yang disandarinya.

Tentang pengertian ‘Arsy, ulama memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menjelaskan bahwa ‘Arsy merupakan ”pusat pengendalian segala persoalan makhluk-Nya di alam semesta”. Penjelasan Rasyid Rida itu antara lain didasarkan pada Al Qur'an:“ ...kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy untuk mengatur segala urusan..(Yunus 10:3) ”
Ada juga perbedaan Pendapat Tentang 'Arsy

Di dalam perbincangan para ulama, tentang ‘Arsy ini selalu banyak pendapat. Para ulama memperdebatkan apakah ‘Arsy itu suatu nonmateri (nonfisik) atau materi (fisik). Dalam hal ini ada tiga pendapat yang berbeda:
Mu'tazilah berpendapat bahwa kata ‘Arsy di dalam al-Quran harus diartikan dan dipahami sebagai makna metaforis (majazi). Jika dikatakan Tuhan bersemayam di ‘Arsy, maka arti ‘Arsy di sini adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan merupakan zat yang nonmateri, karenanya mustahil Dia berada pada tempat yang bersifat materi.
Mujassimah pendapat golongan ini bertolak belakang dengan pendapat pertama. Menurut mereka, kata ‘Arsy harus dipahami sebagaimana adanya. Karena itu, mereka mengartikan ‘Arsy sebagai sesuatu yang yang bersifat fisik atau materi. Mereka memiliki paham antropomorfisme.
Asy'ariyah berpendapat yang menyatakan bahwa ‘Arsy dalam arti tahta atau singgasana harus diyakini keberadaannya, karena Al-Quran sendiri mengartikan demikian.

Referensi
‘Arsy Singgasana Allah
http://www.psq.or.id/ensiklopedia_detail.asp?mnid=34&id=23
http://www.almanhaj.or.id/content/2171/slash/0

Selain itu ada juga keterangan sebagai berikut :
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani bahawa ‘Arsy Allah dan Kursi-Nya adalah benar kewujudannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Maka, Mahatinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mu’minuun: 116)
Juga firman-Nya:
“Yang mempunyai ‘Arsy, lagi Mahamulia.” (Al-Buruuj: 15)
“Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Yang Mahaagung lagi Maha Penyantun. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb (Pemilik) ‘Arsy yang agung. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah, Rabb langit dan juga Rabb bumi, serta Rabb Pemilik ‘Arsy yang mulia.” (HR. Al-Bukhari (no. 6345), Muslim (no. 2730), at-Tirmidzi (no. 3435) dan Ibnu Majah (no. 3883), dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu.)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Perumpamaan langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi seperti cincin yang dilemparkan di padang sahara yang luas, dan keunggulan ‘Arsy atas Kursi seperti keunggulan padang sahara yang luas itu atas cincin tersebut.” (HR. Muhammad bin Abi Syaibah dalam Kitaabul ‘Arsy, dari Sahabat Abu Dzarr al-Ghifari Radhiyallahu ‘anhu . Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (I/223 no. 109))

Adapun tentang Kursi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (Al-Baqarah : 255)
Dari Sa’id bin Jubair bahwasanya ketika Sahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu menafsirkan firman Allah: “Kursi Allah meliputi langit dan bumi,” beliau berkata:
“Kursi adalah tempat meletakkan kaki Allah, sedangkan ‘Arsy tidak ada yang dapat mengetahui ukuran besarnya melainkan hanya Allah Ta’ala.” (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 12404), al-Hakim (II/282) dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat Syarhul ‘Aqiidah ath-Thahaawiyah (hal. 368-369), takhrij dan ta’liq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin at-Turki.)

Imam ath-Thahawi (wafat th. 321 H) rahimahullah berkata: “Allah tidak memerlukan ‘Arsy dan apa yang di bawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang di atasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.”

Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan: “Bahawa Allah mencipta-kan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah kerana Allah memerlukan ‘Arsy tetapi Allah mempunyai hikmah tersendiri tentang hal itu.” (Ibid, hal. 372.almanhaj)

(Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, PO BOX 7803/JACC 13340A. Cetakan Ketiga Jumadil Awwal 1427H/Juni 2006M)

Sunday, 17 February 2008
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin berpendapat bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy-Nya adalah dengan cara bersemayam yang khusus, bukan bersemayam secara umum seperti yang dilakukan oleh para makhluk. Maka dari itu tidak sah dikatakan istawa 'ala al-makhluqat (bersemayam di atas makhluk-makhluk) atau di atas langit atau di atas bumi karena Dia terlalu mulia untuk itu. Mengenai 'Arsy kami katakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala bertahta dan bersemayam di atas 'Arsy-Nya. Kata istawa lebih khusus daripada kata 'uluw yang mutlak, maka dari itu bersemayamnya Allah di atas singgasana-Nya termasuk sifat-sifat-Nya yang fi'liyah yang berkaitan dengan kehendak-Nya, lain halnya dengan kata 'uluw, itu termasuk sifat-sifat dzatiyah-Nya, yang tidak lepas darinya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah secara terus terang menjelaskan tentang hadits yang ada dalam bukunya Majmu' Al-Fatawa jilid V halaman 522, yang dikumpulkan oleh Ibnu Qasim, "Dengan demikian Allah bersemayam di atas 'Arsy setelah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari. Sebelum itu Dia tidak bersemayam di atas 'Arsy. Dikatakan bahwa kata istawa' adalah cara bersemayam yang khusus. Segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu, dia berada di atasnya, tetapi tidak semua yang berada di atas sesuatu tidak disebut dengan bersemayam dan bertahta di atasnya, tetapi segala sesuatu yang bersemayam di atas sesuatu berarti dia berada di atasnya." Itulah maksud yang sesungguhnya.

Sedangkan perkataan kami "sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya" berarti bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy adalah seperti sifat-sifat-Nya yang lain, hanya sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya, yang tidak sama dengan bersemayamnya manusia. Masalah ini berarti kembali kepada masalah bagaimana bersemayamya Allah di atas 'Arsy itu, karena sifat mengikuti yang disifati. Sementara Allah adalah dzat yang tidak bisa dibuat permisalannya dan sifat-sifat-Nya tidak sama dengan sifat-sifat lainnya, seperti yang difirmankan Allah, "Tidak ada sesuatu pun yagn sepadan dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura:11).

Tidak ada yang menyamai Allah dalam dzat dan sifat-Nya, maka dari itu, Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang bersemayamnya Allah, beliau menjawab, "Bersemayam adalah sesuatu yang dimengerti, tetapi bagaimana bersemayamnya adalah sesuatu yang tidak masuk akal namun harus diimani dan mempertanyakannya adalah bid'ah." Ini adalah ukuran untuk semua sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan-Nya untuk Diri-Nya sendiri dalam bentuk yang sesuai dengan-Nya tanpa mengubah, tanpa mengada-ngada, tanpa mempertanyakan, dan tanpa membuat permisalan.

Dari sini jelaslah faedah dari pendapat ini bahwa bersemayamnya Allah di atas 'Arsy adalah bersemayam dengan cara yang khusus untuk-Nya, karena ketinggian secara umum adalah milik Allah, baik sebelum menciptakan langit dan bumi, ketika menciptakan, maupun sesudah menciptakan keduanya; karena hal itu termasuk sifat wajib-Nya, seperti Maha Mendengar, Maha Melihat, Mahakuasa, Mahaperkasa, dan sebagainya.

Fatawa arkaanil Islam atau Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa, dan Haji, terj. Munirul Abidin, M.Ag. (Darul Falah 1426 H.), hlm 85 – 86.
Kalau beloh berpendapat, Allah tidaklah dapat disamakan dengan mahluk ciptaannya karena sifat kesempurnaanya jadi Allah berada diluar sistem kita yang terpaku pada ukuran.

Mudahnya kalau kita membuat suatu virtual system tentu kita tidak berada pada virtual system tersebut karena kita berada diluar sistem untk mengawasi sistem tersebut.

Adapun gambaran Allah berada di suatu tempat adalah pemahaman kita sebagai manusia dengan keterbatasannya dan secara naluriah tanpa sadar menggambarkan Allah sebagai mahluk.

Jadi keberadaan Allah tidak dapat dijangkau sistem dunia kita hanya Allah yang mengetahui dan kita hanya harus mengimaninya.

Hasbunallah wa nicma-l-Wakeel, nicma-l-Mawla wa nicma-n-Naseer, la hawla wa la quwwata illa billahi-l-cAliyyi-l-cAdheem