Kamis, 28 Juli 2011

Mari Kita Belajar Menjadi Shalihin dan Membangun Jejaring Khair (Kebaikan) 1

Mari Kita Belajar Menjadi Shalihin dan Membangun Jejaring Khair (Kebaikan)

20 Juli 2011
Sutono b Joyosuparto

Kita melihat yang berkuasa sekarang ini adalah lingkaran setan atau lingkaran iblis atau vicious circle atau jejaring keburukan. Mereka yang demo mengecam generasi yang berkuasa, setelah mendapat giliran berkuasa, mereka bahkan mengikuti atau napak tilas jejak para senior mereka itu. Bukankah itu namanya lingkaran setan. Korupsi terjadi di mana mana, di semua strata masyarakat, di semua profesi, merata.
Anehnya Dr.Muslim Abdurrahman, Wakil Ketua PP Muhammadiyah dalam suatu dialog di acara TVRI, untuk memperbaiki keadaan masih berbicara tentang memperbaiki sistem. Mana bisa sistem yang dipikirkan manusia mampu mengatasi keburukan zaman jahiliyyah kedua ini.
Apa kita bisa berpartisipasi mengatasi keruwetan seperti yang kita lihat sekarang ini? Mana bisa kita kita, yang masih tertatih tatih ini? Ya kita memang tidak bisa. Maka lupakan tentang menjadi pahlawan. Kita urus saja diri sendiri. Lho?!
Yang dapat dan harus kita lakukan adalah mulai dengan sadar belajar menjadi shalihin. Bukankah orang tua kita semua selalu mendoakan agar kita menjadi orang shalih dan shalihat. Hanya saja tidak pernah dengan jelas diuraikan bagaimana definisi atau kualifikasi seorang shalih atau shalihat itu. Penjelasan itu muncul pertama kalinya (bagi saya) ketika MSH menyampaikan sohbet subuh yang disiarkan MNCTV (dulu TPI) beberapa waktu yang lalu.
Ketika Nabi s.a.w. membawa metoda mendasar sistem belajar, yaitu learning by doing (atau belajar sambil mengerjakan), yang diturunkan dari sami’na wa ‘atho’na (atau mendengar dan patuh/melaksanakan (apa yang didengar/diperintahkan itu)), itu tidak dibatasi untuk jenis belajar ilmu apa. Bukankah dalam menjalani hidup kita masing masing ini, itulah yang terjadi : belajar hidup sambil menjalani hidup ini?
Dan itu pulalah yang dikerjakan masyarakat Barat (justru non muslim!!!) di dalam mengunduh (down load) seluruh ilmu pengetahuan sains sampai dengan abad ke 21 ini, dibantu dengan analisa analogi yang banyak disebut di dalam al Qur’an.
Jadi untuk mempeluas ilmu pengetahuan sains/teknologi sistem yang dibawa Nabi s.a.w. sangatlah sukses. Namun sistem atau algorithma atau prosedur yang sama tidak pernah digunakan untuk menambah ilmu yang justru sangat penting, khususnya bagi muslim yang mengenal konsep bahwa kita ini diciptakan Allah tak lain adalah untuk mengabdi kepada Nya.
Ilmu apakah itu ? Yaitu tadi untuk mengetahui bagaimana menjadi abdi Allah itu, untuk memahami apa kehendak Allah atas diri kita, untuk apa sesungguhnya tugas atau fungsi kita diturunkan ke dunia ini?
Mengapa ini terjadi?
Mungkin karena kita terlanjur melekatkan aroma mistis ke dalam ilmu yang demikian itu, ilmu ghaib. Kita pikir ghaib itu terkait dengan sesuatu yang mistis, yang irrasional, untouchable. Kalau kita pinjam istilah dalam matematika (atau aritmatika) rasional adalah bilangan yang habis dibagi dan dapat dinyatakan dalam angka desimal. Maka istilah rasional di luar bidang matematika diartikan sebagai hal yang dapat didudukkan perkaranya. Angka angka ½, 1/5, 1/10 adalah rasional karena bisa dinyatakan sebagai 0.5, 0.2 dan 0.10. Tapi angka 1/7 disebut irrasional, karena tidak dapat dinyatakan sebagai 0.142857 yang lebih kecil dari 1/7, juga tidak dapat dinyatakan sebagai 0.142860 yang lebih besar dari 1/7.
Sebetulnya keruwetan itu hanya timbul karena pemilihan dasar bilangan saja. Kalau dasar bilangannya adalah 7, maka 1/7 dapat dituliskan sebagai 0.1. Kalau dasar bilangannya adalah 2, maka 1/7 dapat dinyatakan sebagai 0.001. Begitu juga dengan irrasional dalam bidang non matematika. Selalu bisa didudukkan perkaranya dengan memilih sudut pandang yang sesuai.
Jadi bicara tentang hal ghaib sesungguhnya hanya bicara tentang ukuran (size) yang lebih kecil atau ukuran extrim, bisa extrim besar, bisa pula extrim kecl.Untuk memahami dan mengetahui kelakuan benda yang nampak adalah lebih mudah dari pada memahami kelakuan benda yang tidak nampak, karena ukurannya di luar batas yang bisa kita lihat. Tetapi tidak berarti tidak bisa. Maka kita lihat berkembang pula pemahaman kita tentang molekul, atom, proton, neutron, elektron dan sebagainya.
Ketika penelitian kita mencapai batas quantum, terkecil yang bisa kita kenali, kita terhenti. Karena di situ kita melihat bahwa benda terkecil itu berubah bentuk dari sifat benda padat ke sifat cahaya (energi) atau sebaliknya dengan cara reversible, tenang tenang saja. Tidak seperti yang kita fahami untuk perubahan yang terjadi pada benda radioaktif, yang menjadi cahaya (energi) dalam cara yang menggemparkan, mengikuti rumus yang tersohor itu E = mc2 . Bukan tenang tenang dan itu adalah perubahan yang tidak bisa dibalik, irreversible.
Maka dalam hal itu kita harus beralih memahami kejadian perubahan benda  cahaya secara reversible itu menggunakan keterangan dari al Qur’an, yang menyebutkan bahwa semua yang ada ini hanya ada selama masih bertasbih kepada Allah. Begitu tasbih itu berhenti, maka dia tidak ada lagi, berubah menjadi cahaya. Jadi rupanya yang bertasbih adalah malaikat (mini atau micro atau quantum), yang memang ditugaskan untuk “mendampingi” setiap unit ciptaan. Para ahli mekanika quantum telah merangkai suatu bentuk pengamatan kelakuan photon. Dalam lintasannya photon itu sesaat seperti terbebas dari “pengamatan”, sehingga langsung berubah kelakuan menjadi cahaya.
Sebagaimana kita tidak perlu menciptakan kembali (reinvent) roda, kita tinggal menggunakan saja hasil karya para ahli itu untuk memperkaya pemahaman kita tentang alam ciptaan Allah, dalam rangka lebih memahami kebesaran dan kuasa Allah.
Jadi sebelum kita membahas tentang belajar menjadi shalihin, kita mantapkan dulu pemahaman kita tentang beberapa istilah dasar dalam Islam.
Agama ini disebut Islam merujuk kepada Rukun Islam, yang memuat lima hal yang harus dikerjakan seseorang yang memeluk agama ini. Ini adalah juga isyarat bahwa Agama Islam adalah tentang perbuatan (execute), bukan tentang tahu. Sedang Rukun Iman memuat enam software (ilmu atau pengetahuan) dasar yang dihadiahkan Allah dan diformat ke dalam qalbu.
Muslim/muslimah adalah mereka yang mengucapkan dua kalimat kesaksian, yang pertama dari Rukun Islam (merujuk kepada kejadian pada awal Islam).
Mu’min/mu’minah adalah mereka yang melandasi kegiatannya (yang dikerjakan) pada butir butir Rukun Iman.
Shaumin adalah mereka yang puasa karena Allah.
Mutaqin adalah mereka yang takut kepada Allah.
Muhsinin adalah mereka yang mengerjakan segala sesuatu sebagus bagus yang dapat dikerjakannya.
Hajji adalah mereka yang berziarah ke Dua Kota Suci di musim hajji.
Shabirin adalah mereka yang selalu berbaik sangka kepada Allah, keadaan apapun yang dialaminya. Selalu mencari kebaikan dalam keadaan buruk, ketika mencoba keluar dari keadaan itu.
Syakirin adalah mereka yang bersyukur atas nikmat Allah yang diterimanya dan fasilitas yang tersedia baginya untuk memberi manfaat bagi diri dan sekitarnya.
Itu tadi adalah kualifikasi seseorang dalam bentuk snap shot sesaat itu.
Mengapa kita dilarang minum yang memabukkan? Karena Allah menghendaki kita mabuh dalam cinta kepada Nya dalam keadaan sadar, tanpa bantuan stimulasi kimiawi/minuman.
Mengapa kita dilarang mengkonsumsi barang yang membuat kita ketagihan? Karena Allah menghendaki kita ketagihan atas karunia nikmat Nya dalam keadaan sadar, tanpa stimulasi barang yang membuat kita ketagihan.
Mengapa Allah melarang kita menduakan (musyrik) Dia? Karena Allah menghendaki qalbu abdi Nya hanya terisi oleh Nya. Maka al Qur’an berbicara tentang dzikir katsiran (dzikr sebanyak banyaknya), tidak penting qualitas dzikir kita. Pokoknya jangan putus.
Mengapa Allah melarang kita berjudi untuk mendapat harta atau untuk kesenangan? Karena hidup ini sesungguhnya sebuah judi yang taruhannya adalah : ruh tidak bisa kembali ke asalnya. Sebuah taruhan terbesar yang bahkan tidak bisa dibayangkan seorang yang gila judi. Jadi harusnya lebih menarik dari taruhan harta saja.
Mengapa al Qur’an menyatakan bahwa kenikmatan kehidupan dunia hanyalah sesaat saja? Itu adalah isyarat buat kita agar menyadari bahwa tubuh kita tidak di-desain Allah untuk bisa menerima nikmat dunia dalam waktu panjang. Contoh sederhana dari fakta ini adalah nikmat pemuasan haus, yang hanya dapat kita rasakan pada tegukan pertama. Pada tegukan kedua dan seterusnya nikmat itu sudah tidak terasa lagi. Contoh lain bisa kita temukan sendiri masing masing.
Diri kita memang di-desain untuk lebih tahan terhadap kesukaran dunia, bukan untuk kenikmatan dunia. Karena dalam menambah kekuatan dan kemampuan (fisik dan spiritual) kita, Allah akan menguji dan menempatkan kita dalam kesukaran. Padahal peningkatan kemampuan tersebut adalah sepanjang hidup. Jadi kita memang di-desain demikian.
Artinya ketika kita sedang berada dalam kenikmatan, itu adalah posisi terlemah kita dan iblis/setan akan masuk dalam keadaan itu. Maka agama kita menyuruh untuk memohon perlindungan Allah terhadap gangguan iblis ketika kita akan berhubungan suami isteri.
Ketika seseorang menduduki suatu jabatan penting, kemudian dia mulai merasakan kenikmatan, itulah saatnya dia harus mundur. Karena dikatakan power tends to corrupt. Kekuasaan cenderung untuk korup (merusak diri). Seorang pemimpin harus terus merasa berada dalam kesukaran, karena sesungguhnya mereka yang dipimpinnya pasti salah satunya (minimal) berada dalam kesukaran dan tanggung jawabnyalah untuk ikut membantu agar dia bisa keluar dari kesukaran itu. Karena justru itulah yang akan diminta pertanggung jawabanya.
Maka ketika pemimpin itu mulai merasa nikmat, dia tidak lagi bisa diharapkan untuk memimpin. Atau mungkin juga dia begitu hebat sehingga mereka yang dipimpinnya sesua sudah terbebas dari kesukaran. Itupun juga alasan untuk mundur, karena memang dia tidak lagi diperlukan.
Saya undang para pembaca untuk menambahkan hal lain di mana setan akan masuk untuk menyerang kita. Hal hal ini penting diketahui bagi mereka yang memang berniat belajar menjadi shalihin. Iblis /setan musuh nyata manusia itu memang keahliannya mencuri details dari manusia.

Tidak ada komentar: