Kamis, 28 Juli 2011

Mari Kita Belajar Menjadi Shalihin dan Membangun Jejaring Khair (Kebaikan) 2

Mari Kita Belajar Menjadi Shalihin dan Membangun Jejaring Khair (Kebaikan)

20 Juli 2011
Sutono b Joyosuparto

Belajar agama atau ilmu apapun hendaknya mempunyai guru yang akan membimbing. Guru hanya membimbing. Contoh jelas Nabi s.a.w. mendapat bimbingan dari malaikat Jibril a.s. dalam mempelajari al Qur’an. Yang sesungguhnya mengajari tentang hal hal yang tidak kita ketahui ya hanya Sang Pemilik Ilmu, Allah S.W.T. Khusus untuk mendekat kepada Allah harus melalui guru yang bisa membawa kita kehadhirat Nabi s.a.w.
Kembali ke daftar. Mengapa kita dilarang bersandar ketika dzikir khawajagan berjama’ah? Selain itu dianggap kurang beradab, juga karena kenikmatan bersandar itu akan menyebabkan kita langsung “diculik” iblis. Kita tertidur dan ngorok dan mengganggu sekitar kita.
Ada dua ayat dalam al Qur’an, yang menyebutkan (tidak sama persis kalimatnya) bahwa “tidak berubah keadaan suatu kaum kecuali mereka sendiri merubahnya”. Umumnya dua ayat ini diartikan bahwa kita memang mampu merubah keadaan yang buruk menjadi baik. Apakah benar demikian? Kalau kita mau mengerti makna :”la hawla wa la quwata illa billah”, bahwa tiada daya tiada upaya kecuali dengan Allah, maka yang sesungguhnya dapat kita rubah hanyalah orientasi atau sikap kita. Kalau tadinya kita tidak peduli, kita cuek, kita bisa merubahnya menjadi menghadapkan muka kita kepada Allah S.W.T. seperti doa yang kita baca setiap bertemu kata “sujud” dalam al Qur’an :”sajada wajhiya liladhiy khalaqahu wa shawwarahu fa ‘ahsana shuwarahu wa syaqqa sam’ahu wa basharahu bi hawlihi wa quwatihi fatabaraka Allahu ‘ahsanu l-khaliqiyna”.
Kalau minimal 9% atau 33% dari populasi telah melakukan reorientasi seperti itu dan mulai proses menjadi shalihin, insya Allah, Dia S.W.T. akan turun tangan mulai merubah situasi buruk tersebut. Itulah makna la hawla wa la quwata illa billah. Dan jangan mengharap situasi langsung berubah seperti semudah membalik tangan begitu saja. Tetapi tidak tertutup kemungkin terjadi seperti itu. Itu semua ya memang tergantung situasinya dan kehendak Allah S.W.T. Sendiri.
Jadi sebetulnya siapakah shalihin/shalihah itu ? Itu adalah mereka yang tidak pernah memutuskan hubungan qalbunya dengan Allah bahkan sekejap matapun. Proses untuk menjadi seperti itu tentunya memerlukan pelatihan yang panjang, tidak dapat terjadi secara sesaat/instant. Tentu saja ada perkecualian atas izin Allah.
Di sini kita perlu menyimak perjalanan hidup ulat yang buruk rupa dan rakus, yang setelah bertapa (khalwat, ‘itikaf, uzla, riyyadhah, suluk) beberapa waktu di dalam kepompongnya, lalu dia keluar dalam bentuk kupu kupu yang cantik yang berguna dalam proses pembuahan beberapa macam tanaman. Makhluq ini khusus diciptakan agar kita bercermin.
Bahkan simbol “menjadi kupu kupu” itupun digunakan di dalam kisah silat, di mana seseorang yang telah bertapa menguasai diri secukupnya sehingga tubuhnya tidak lagi bisa dilukai pukulan lawannya (yang seimbang tentunya), juga digunakan simbol kupu kupu (lihat Kung Fu Hustler).
Lalu di manakah letak kepompong manusia itu? Nah di sinilah letak kepelikannya. Kepompong manusia itu bukan berbentuk fisik, tetapi berbentuk software yang diformat di dalam diri kita. Dan itu bukan hanya satu lapis, tapi ratusan lapis bahkan ribuan lapis tergantung dari definisi software yang dimasukkan ke dalam kategori kepompong itu yang mana saja.
Apa sih gunamya kepompong itu? Itu adalah untuk melindungi ketika makhluq itu tumbuh menjadi dewasa. Dalam hal nya manusia, kepompong lapis pertama adalah ego, yang pada dasarnya adalah cinta diri. Cinta diri inilah yang membuat bayi manusia bisa bertahan hidup (survive). Kalau kepompong cinta diri ini dibiarkan tumbuh bersama tumbuhnya manusia, maka tidak mungkin atau sukar sekali dia bisa menghubungkan qalbunya dengan Allah. Atau bahkan upayanya untuk menghubungkan qalbunya dengan Allah akan ditolak Nya. Atau kalau menggunakan kisah sufi, ketika seseorang mengetuk pintu Allah dalam bentuk dirinya, akan dihardik Allah:”Memangnya kamu itu siapa kok berani beraninya datang kepada Ku dalam bentuk dirimu?”
Cinta diri itu harus ikut berubah menjadi cinta kepada orang tua, lalu menjadi cinta kepada lawan jenis (calon pasangan), dan terakhir menjadi cinta kepada Allah dan Rasul Nya dan kepada seluruh ciptaan, agar tidak lagi menjadi hambatan datangnya cahaya Ilahiyyah ke dalam qalbu.
Di samping cinta diri, ada lagi sifat buruk yang juga merupakan software yang di install atau di format ke dalam diri kita, antara lain : marah, dengki dan penyakit qalbu lainnya. Nah ini persolannya lain. Mereka ini tidak bisa berkembang seperti halnya cinta diri itu. Mereka ini kan diformat oleh Allah di dalam diri kita. Jadi yang bisa membuka ya hanya Allah. Bagaimana dong?
Yang dipasang di dalam diri kita bukan hanya sifat buruk itu. Tetapi juga 99 Nama Indah Allah. Hal ini diisyaratkan dengan dituliskannya angka 81 di tangan kanan dan angka 18 di tangan kiri pada semua manusia, dari sejak awal sampai kapanpun. Dalam tulisan Arab. Sebetulnya Nama Indah Allah tidak terbatas jumlahnya. Setiap mencipta kan satu makhluq selalu disertakan Satu Sifatnya. Tanpa itu makhluq itu ya tidak ada. Manusia adalah makhluq istimewa, yang diberi bukan hanya satu tetapi 99 Nama Indah !!! Tentu saja intensitas atau komposisi 99 Nama Indah itu bagi masing masing manusia berbeda beda. Dan Nama Nama itu tertanam “dalam dalam” di diri kita. Maka salah satu gerakan yang penting di dalam mengambil air wudhu adalah menggosok gosokkan kedua belah tangan. Itu dapat dikatakan sebagai salah satu cara untuk memunculkan Nama Nama (atau salah satunya), yang terkait dengan hal yang sedang kita hadapi.
Dan fungsi terpenting dzikir Allah atau menyebut Allah atau salah satu atau beberapa Sifat/Nama/Busana Nya untuk dipunggah (up load) ke dalam qalbu/jantung, adalah untuk lebih “menghidupkan” 99 Nama itu di dalam diri kita. Nama Allah mencakup seluruh Nama Nama itu. Di sini mungkin makna dari Hadits Qudsi yang kira kira berbunyi:”Tidak ada makhluq (ciptaan) yang bisa “menampung” Aku, kecuali qalbu orang beriman.”
Dengan memunggah nama Allah ke dalam jantung kita, selain untuk lebih menghidupkan Asma ul Husna dalam diri, juga untuk memperkuat cahaya Allah di dalam qalbu. Al Qur’an bicara tentang “yang haqq datang , yang bathil akan menghilang”. Jadi begitu qalbu dipenuhi cahaya Allah, sifat buruk itu akan menguap. Apalagi kalau kita juga memohon kepada Allah agar membuang sifat buruk kita, maka permohonan itu akan lebih diperhatikan. Dan dengan menghilangnya sifat buruk, hubungan qalbu dengan Allah menjadi lebih “nyata”.
Selama ini kalau kita berbicara tentang makanan buat ruh, maka kita berbicara tentang ikut pengajian atau mendengar khotbah atau hal hal sejenis. Karena ruh yang berse mayam dalam qalbu berasal dari kombinasi cahaya Allah dan cahaya Muhammad, maka yang diperlukannya adalah yaitu tadi : cahaya Allah dan cahaya Muhammad. Ya bacaan Allah Allah dan shalawat, allahuma shali ala muhammad wa ala ali muhammad wa salam. Bukan siraman rohani yang disiarkan televisi sekitar waktu subuh.
Sampai usia 72 tahun entah berapa ekor sapi, atau ayam yang sudah saya makan. Berapa ton beras yang sudah saya ganyang. Berapa meter kubik air yang telah saya gelegak. Tetapi hanya berapa Allah Allah dan shalawat yang telah saya punggah ke qalbu saya? Tidak heran kalau qalbu saya tetap kerdil, tidak tumbuh seperti yang seharusnya.
Jadi bagaimana mulai belajar menjadi shaliin? Dengan persiapan yang begitu panjang? Shalihin adalah mereka yang tidak pernah memutuskan barang sekejap matapun kontak qalbunya dengan Allah. Tentu saja pemula tidak mungkin melakukan itu. Tetapi untuk benar benar memahami proses yang terkait di sini, diperlukan untuk melihat analogi yang bisa digunakan di dalam ilmu fisika atau tepatnya thermodinamika. Hukum Kedua Thermodinamikan menyatakan bahwa semua proses (berpindahnya energi atau perubahan energi) akan terjadi secara merugikan sistem, ditandai dengan naiknya entropynya, kecuali jika itu dilakukan secara infitesimal dengan selalu berhubungan dengan sumber tak berhingga. Artinya proses itu adalah proses reversible, yang bisa dibalikkan ke keadaan semula.
Dalam ilmu manusia, yang senafas dengan Hukum Kedua Thermodinamika, adalah Surat Wal Asr. Kalau di dalam melakukan sesuatu, seseorang selalu beriman (meme gang teguh imannya) dengan terus up load Allah Allah ke dalam qalbunya, maka tindakannya itu tidak akan membuatnya merugi. Setiap sayatan amal atau pekerjaan yang disertai penyebutan Allah Allah, akan membuat seolah olah Allah mengambil alih pekerjaannya. Ini adalah interpretasi dari hadits ' ….sampai Dia akan menjadi telinga nya yang dengannya dia mendengar, matanya yang dengannya dia melihat, lidahnya yang dengannya dia berbicara, tangannya yang dengannya dia menggenggam, dan kakinya yang dengannya dia berjalan….”
Sampai sini dapat diharapkan bahwa seorang shalihin memiliki kualifikasi seperti seluruh snap shot yang disebutkan di atas. Dan karena menjadi shalihin itu begitu sulitnya, sang pejalan hendaknya tidak menyia-nyiakan semua fasilitas yang disediakan Allah. Antara lain dalam 24 jam hendaknya melaksanakan seluruh 80 raka’at shalat, sudah termasuk 17 raka’at shalat fardhu. Dan di dalam situ terdapat keterangan bahwa pembacaan Surat Sajda setelah shalat maghrib diteruskan dengan pembacaan Surat Mulk setelah shalat isya, itu adalah seperti ibadah semalam suntuk di waktu malam kuasa (laylatul qadar). Shalat isyraq (terbtit matahari) adalah sedekah bagi 360 sendi di dalam tubuh plus pahala hajji dan umrah. Dengan memanfa’atkan fasilitas yang tersedia ini, mudah mudahan bertambahnya cahaya Ilahiyyah dan cahaya Nabi menjadi kebih terasa.
Itulah amal shalih yang dimaksud di dalam Surat Wal Asr. Bersamaan dengan itu dia mengajak kepada kebenaran dan mengajak kepada keshabaran.
Cepat atau lambat belajar menjadi shalihin ini memang harus kita lewati. Kalau bukan untuk menggalang lingkaran kebaikan, kita memang juga harus bersiap siap mengha dapi berlakunya Teknologi Bahrul Qudra di masa mendatang. Jangan ditunda tunda lagi.

Tidak ada komentar: